Tuesday, January 26, 2016

Ustadz Anti Bid'ah Dapat Hidayah Lewat Seorang Bocah

No comments:
Joni (nama samaran), bocah berumur belasan tahun, semangat mengajinya masih membara. Semua majelis pengajian ia datangi, baik yang sering mengadakan Maulid Nabi ataupun kepada ustadz yang selalu menakut-nakuti akan bahaya bid'ah.

Ustadz: "Saudaraku Joni, aku lihat kamu masih ikut merayakan Maulid Nabi kemarin. Bukankah sudah kukatakan jika itu bid'ah sebab tidak ada dalilnya baik dalam al-Quran maupun dalam hadits dan Nabi bersabda segala bid'ah itu sesat. Jadi kamu itu sesat jika masih menerima Maulid Nabi. Kuingatkan lagi kamu, jika ajaran itu tidak ada dalilnya sama sekali baik dari al-Quran maupun al-Hadits maka itu adalah bid'ah dan itu sesat.

Joni: "Aku ini orang bodoh dan aku hanya ikut-ikutan apa yang dilakukan oleh golonganku, Ustadz."

Ustadz: "Lebih baik kamu belajar padaku agar kau menjadi alim."

Joni: "Hmmm... baiklah, tapi aku mau belajar baca al-Quran dulu karena aku sangat ingin bisa membaca al-Quran dengan baik. Aku tahu Ustadz adalah orang yang pandai membaca al-Quran."

Ustadz: "Oh dengan senang hati, aku akan ajari kamu menjadi yang paling bagus bacaannya diantara golonganmu."

Joni: "Kapan aku bisa mulai belajar, Ustadz?"

Ustadz: "Bagaimana kalau mulai besok tiap sore di majelis ta'limku."

Joni: "Baiklah aku setuju."

Keesokan harinya si Joni dengan sangat semangat berangkat mengaji. Dalam pikirannya dia membayangkan suatu hari nanti bisa membaca al-Quran sebaik si Ustadz. Setelah mengucap salam dan dipersilakan masuk ke ruang majelis ta'lim oleh si Ustadz, si Joni merasa grogi karena di dalam majelis tersebut rupanya sudah berkumpul para murid si Ustadz. Kemudian si Joni bersalaman kepada seluruh murid sekaligus kepada si Ustadz itu sendiri.

Ustadz: "Silakan duduk, Saudaraku Joni."

Joni kemudian melangkah maju dan duduk di hadapan sang Ustadz.

Ustadz: "Kita mulai pelajaran hari ini dari surat al-Fatihah ya?"

Joni: "Ya, Ustadz."

Ustadz: "Aku baca dulu suratnya biar kamu punya gambaran seperti apa bacaan al-Fatihah yang benar itu. Bimillaahirrahmaanirrahiim, alhamdulillaahirabbil 'aalamiin...dst. sampai waladhdhoooooolliin. Nah coba sekarang kamu tirukan bacaanku barusan, jika ada kesalahan akan aku betulkan."

Joni: "Bismillahir... #gugup

Ustadz: "Salah, La-nya itu harus dibaca panjang karena itu bacaan mad thabi'i."

Joni: "(Duh hebat banget nih Ustadz, dia tahu hukum-hukum bacaan, pasti beliau juga hafal sampai ke dalilnya mad thabi'i). Bismillaaaahir..."

Ustadz: "Stop, jangan dibaca terlalu panjang, bacaan mad thabi'i itu cukup dibaca dua ketukan atau satu harakat."

Joni: (Subhanallah, beliau juga faham harakat. Pasti dia juga hafal dalil ketukan mad thabi'i). Bismil..."

Ustadz: "Kenapa berhenti? Ayo teruskan!"

Joni: "Hmmm... anu Ustadz, saya ragu-ragu baca La-nya itu dibaca panjang atau pendek? Ada yang mengganggu pikiran saya, setelah saya mendengar penjelasan Ustadz kemarin."

Ustadz: "Apa yang mengganggu pikiranmu?"

Joni: "Supaya saya mantap dalam belajar membaca al-Quran ini. Boleh saya tau dalilnya mad thabi'i itu Ustadz? Biar saya tidak keliru atau melakukan bid'ah seperti kata Ustadz kemarin."

Ustadz: "Ya tidak ada dalilnya."

Joni: "Lhoh kok bisa begitu, dalam al-Quran tidak ada dalilnya?"

Ustadz: "Tidak ada."

Joni: "Dari hadits mungkin, Ustadz?"

Ustadz: "Sama sekali tidak ada."

Joni: "Masa tidak ada dalilnya, Ustadz? Kalau dari para sahabat gitu?" (maksudnya adalah atsar).

Ustadz: "Kan aku sudah bilang kalau tidak ada ya tidak ada. Yang buat mad thabi'i itu para ulama, supaya memudahkan kalian belajar ngaji."

Joni: "Ooow begitu... Terus kenapa Ustadz mengajarkan mad thabi'i kepada saya yang jelas-jelas tidak ada dalilnya sama sekali? Bukankah Ustadz kemarin berkata bahwa ajaran yang tidak ada dalilnya baik dari al-Quran maupun hadits adalah bid'ah dan segala bid'ah itu sesat. Berarti Ustadz ngajarin ilmu sesat dong ke saya."

Ustadz: "Emmm bukan, bukan begitu maksudnya... Emmm gimana ya, susah menjelaskannya."

Joni: "Ah sudahlah Ustadz, aku tak mau berguru pada orang yang munafik."

Joni berdiri dan hendak beranjak keluar.

Ustadz: "Maksudmu aku seorang munafik?"

Joni: "Ya, kemarin Ustadz melarang aku untuk merayakan Maulid Nabi yang kata Ustadz bid'ah karena tak ada dalilnya. Tapi hari ini Ustadz malah mengajarkan aku sesuatu yang juga tidak ada dalilnya. Apa itu bukan munafik namanya?"

Lalu Joni bergegas meninggalkan sang Ustadz tadi yang termangu dan tak sanggup berkata apa-apa lagi. Dengan serta merta di hadapan seluruh muridnya si Ustadz bersimpuh lalu bersujud sembari menyesali kesalahan keyakinannya selama ini. Dalam sujudnya ia pun berdoa: "Ya Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Kuasa, telah berapa banyak alim ulama Ahlussunnah wal Jama'ah yang telah kuhadapi selama ini, yang meski kesemuanya mampu mematahkan argumen-argumenku mengenai masalah bid'ah, tak satupun dari mereka yang mampu meruntuhkan keyakinanku bahwa semua bid'ah itu sesat. Hari ini melalui seorang hambaMu yang bodoh lagi lugu Engkau malah menghancurkan benteng-benteng kesesatan dalam hatiku ini. Ya Allah benarlah ayatMu yang berbunyi "Innal huda hudallah", tiadalah yang mampu memberi hidayah kecuali Engkau. Ya Allah ampunilah segala dosaku dan terimalah taubatku hari ini."

Kejadian seperti di atas sering terjadi, bahkan mayoritas ustadz itu bertitel Lc. Hal demikian memberi kita gambaran bahwa manusia takkan bisa lepas dari bid'ah. Dalam hal ini yang dimaksud adalah bid'ah hasanah. Semoga bermanfaat.

MENGAPA INDONESIA BUKAN KHILAFAH ?

No comments:



الدّفاعة  على شبهة الخلافة
MENGAPA INDONESIA BUKAN KHILAFAH?
Daftar Isi:
1.    Awal Mula Kemunculan Gagasan Khilafah
2.    Bantahan Atas Gagasan Khilafah
a.   Dasar Al-Quran
b.   Dasar Al-Hadits
3.    Klaim Keji Atas Umat Islam yang Tidak Menyetujui Khilafah
4.    Sikap Para Ulama Terhadap Gagasan Khilafah
بسم الله الرحمن الرحيم
Allah Swt. berfirman dalam QS. an-Nisa’ ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasulullah (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Rasulullah Saw. bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ منْ بَعْدِي
“Berpegangteguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyyin setelahku.” (HR. Ibn Majah, ad-Darimi, Ibn Hibban, al-Hakim, Abu Daud dan at-Tirmidzi).
1.    Awal Kemunculan Gagasan Khilafah
Disebut-sebut ‘khilafah’ mulai ramai sejak tahun 2000, kurang lebih sudah 14 tahun lamanya. Tidak sedikit kader-kader Nahdlatul Ulama yang tertipu dan ‘tergelincir’, sehingga memberikan dukungan moril maupun materiil terhadap Hizbul Khilafah.
Dalam sebuah perbincangan dengan guru saya, KH. Abdul Adzim bin Muhammad Suhaimi, seorang ulama sepuh di kawasan Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Beliau adalah ulama senior dari alumni Universitas al-Azhar Mesir. Beliau pertama yang menulis tesis tentang ‘Gerakan Zionisme di Dunia Islam’. Beliau mengatakan kepada saya: “Isu khilafah itu pernah digembar-gemborkan di Mesir, tetapi tidak laku. Kemudian isu itu diekspor ke Australia.”
Setelah saya coba telususri, siapa yang pertamakali membawa isu khilafah ke Indonesia. Orangnya masih hidup di Kota Bogor, namanya Abdurrahman al-Baghdadi. Dia adalah lulusan IPB Bogor yang pernah menuntut ilmu, sekolah S2 di Australia. Di sana ia bertemu dengan para aktifis khilafah dan membawa isu khilafah ini ke Indonesia. Kemudian di Indonesia ia mengkader antara lain Bapak Mahfudz Kurnia, Ismail Yusanto dan Muhammad al-Kahattat (nama aslinya Gatot Yujobroto). Beberapa dari yang lainnya kemudian mendirikan cabang yang dinamai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Sebelum mendirikan gerakan tersebut, Abdurrahman al-Baghdadi berputar kemana-mana dalam rangka menawarkan gagasan khilafah. Gagasan ini selalu mendapat penolakan. Ketika ditawarkan ke Jamaah Tabligh (JT) tetapi ditolak. Kata mereka: “Lho jangan tawarkan khilafah ke saya. Kalau mau tawarkan masjid kosong, ya pati saya terima.” Kemudian gagasan itu ditawarkan ke Dewan Dakwah, tetapi juga ditolak.
Sehingga gagasan khilafah ini sempat menjadi ‘musuh bersama’ di antara ormas-ormas Islam. Tetapi Abdurrahman al-Baghdadi tidak berani menawarkannya ke PBNU, karena sudah alergi dengan Gus Dur ketika itu. Jadi Gus Dur ini tidak perlu berdebat, dengar namanya saja orang sudah enggan. Ini luar biasanya Gus Dur, namanya menang sebelum perang. Jadi tidak perlu banyak mengeluarkan energi, karena Gus Dur selalu memakai prinsip: “Gitu aja koq repot”!
Itulah awal-mula munculnya gagasan khilafah, yang kemudian berkembang terus dari IPB masuk ke UI, ITB dan kemudian berkembang ke universitas atau kampus-kampus negeri unggulan di Pulau Jawa. Sampai sekarang, yang mengagetkan saya, isu khilafah sudah sampai di pulau terkecil di Sulawesi Tenggara.
Dan yang mengecewakan saya, nama saya dicatut sebagai ustadz khilafah. Kenapa? Karena saya ini dianggap dekat dengan aktifis-aktifis khilafah dan pada akhirnya saya dianggap sebagai guru mereka. Dan parahnya itu dijadikan sebagai jualan. Silakan searching di google maka akan ditemukan nama saya. Itu awalnya saat saya menghadiri sebuah seminar ‘Menyikapi Jatuhnya Husni Mubarak dari Kursi Pemerintahan’. Saya tidak tahu kalau acara itu ternyata adalah acara promosi mereka. Yang menghadirinya kebanyakan kau awam dari berbagi macam lapisan masyarakat.
Tetapi yang membuat saya tertawa adalah bahasanya seperti bahasa Bakornas dan Bapernas. Maksudnya, bahasanya di sana bukan bahasa merakyat, tetapi bahasa yang sifatnya elit seperti membahas pendapatan negara dan membahas kebijakan politik. Sedangkan yang hadir di situ adalah seperti tukang sayur dan tukang jamu, sampai mereka saling bertanya: “Pendapatan perkapita itu apa?” Bahkan terlalu tinggi, sehingga saya yakin dari sekian banyak peserta yang menghadirinya tidak faham apa itu isu khilafah.
Yang mengagetkan saya lagi, tidak sedikit kader-kader NU yang sudah sampai pada tingkatan disebut ‘kyai’, pada beberapa waktu yang lalu ramai-ramai datang ke sebuah lembaga pemerintahan menyatakan dukungannya terhadap perjuangan khilafah. Sehingga saya berfikir kalau ini didiamkan yang terancam bukan cuma negara, tapi juga agama. Karena ada upaya politisasi agama untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu.
2.    Bantahan Atas Gagasan Khilafah
Pertanyaannya adalah, apa itu khilafah? Apa benar khilafah itu sebuah sistem yang diharuskan oleh Rasulullah Saw. untuk kita terapkan?
a.   Dasar Al-Quran
Khilafah itu bentuk mashdar dari khalafa-yakhlufu (خلف – يخلف), yang artinya mengikuti. Di dalam al-Quran kata khilafah dipakai dalam bentuk isim fa’il; khalifah, artinya orang yang mengikuti atau orang yang diberikan kewenangan. Maka kalau kita lihat dalam QS. al-Baqarah ayat 30:
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Tetapi makna khalifah di sini adalah hamba Allah yang menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan amanah yang Allah berikan; sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Lalu di dalam QS. Shad ayat 26, Allah menyebut kata khalifah untuk menunjukkan tugas yang dijalankan oleh Nabi Daud As.:
یَادَاوُد إِنَّا جَعَلْناكَ خَلِیفَةً فِی الْأَرْضِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa, penerus amanah Allah yang telah Allah titipkan pada para nabi sebelumnya) di muka bumi.”
Nah, kalau kita lihat kata khalifah atau khilafah di dalam al-Quran tidak menunjuk kepada sistem pemerintahan. Kenapa? Karena al-Quran diturunkan bukan untuk bikin negara. Tidak ada kewajiban bagi setiap Muslim di muka bumi ini untuk mendirikan Negara Islam.
Bahkan Partai Masyumi, yang sering disebut-sebut sebagai partai yang berambisi untuk mendirikan Negara Islam, melalui keterangan resmi dari sekjennya, Almarhum H. Anwar Haryono, mengatakan: “Dengan usaha Masyumi mempertahankan 7 kata di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar dan 7 kata di dalam sila pertama Pancasila, jangan diartikan bahwa Masyumi ingin mendirikan Negara Islam di Indonesia.”
Pernyataan ini bisa dibaca dalam buku yang ditulis olehnya, berjudul ‘Politik Bangsa Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan”. Statemen itu menunjukkan bahwa memang Islam itu ada bukan untuk mendirikan negara. Saya kira ucapan dari Masyumi itu senafas dengan semangat yang diusung oleh para kyai pendiri Nahdlatul Ulama, bahwa: “Islam itu ada, bukan untuk mendirikan negara.”
Tetapi, kalau kita lihat dengan perkembangannya sekarang ini justru informasi-informasi tentang Sirah Nabawiyyah (perjalanan Nabi Muhammad Saw.) dan juga terjemahan-terjemahan al-Quran, dimanipulasi oleh kelompok tertentu lalu diarahkan pada satu kesimpulan bahwa: “Kalau sudah ngaji, kita mendirikan negara sesuai dengan isi pengajian.” Nah ini kan berbahaya, karena:
1.      Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk selalu berpegang pada komitmen (perjanjian).
Disebutkan dalam QS. al-Maidah ayat 1:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah (peganglah) aqad-aqad (perjanjian) itu”. Dalam konteks yang lebih sederhana, perjanjian itu deperti hutang-piutang, komitmen kerja, kontrak kerja. Maka kita harus memegang komitmen. Kalau misalnya kontrak kerja kita dari jam 7 sampai jam 5, maka kita konsiten melaksanakan pekerjaan harus dari jam 7 sampai jam 5.
Dalam konteks yang lebih makro (luas) lagi adalah taat terhadap konstitusi. Karena konstitusi (Undang-Undang Dasar) itu adalah komitmen bersama kita sebagai warga negara, sebagai bangsa untuk mendirikan negara yang kita cita-citakan. Dan itu sudah diakui dengan cara pemiliha umum, pemilihan presiden, bahwa siapapun yang terpilih nanti maka kita sami’na wa atha’na; kita dengar dan kita taati.
Nah kalau umat Islam justru punya cara pandang yang lain, yang berimplikasi pada rusaknya komitmen itu, kita lihat konteks ayatnya disebutkan diawali dengan munada’ “Ya ayyuhalladzina amanu”, panggilan terhadap orang-orang yang beriman. Lalu setelah itu diikuti dengan fi’il amr “Aufu bil ‘uqud”. Artinya kalau orang itu gemar merusak perjanjian, maka kualitas keimanannya pun diragukan. Sebab diantara ciri orang beriman itu dia punya komitmen. Jangan sampai paginya ngomong tahu, sore ngomongnya tempe. Kalau konsisten, tahu ya tahu-tempe ya tempe, meskipun asalnya sama-sama dari kedelai.
2.      Rusaknya keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang telah susah-payah diperjuangkan oleh para orangtua kita terdahulu.
Ada satu dialog yang menarik tentang jihad, yang dikatakan H. Agus Salim ketika beliau ditanya oleh seorang profesor sebuah universitas di Amerika. Jadi, setelah Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari mengobarkan Resolusi Jihad, kata jihad adalah kata yang paling menakutkan bagi orang-orang Barat. Karena pada saat itu, mereka (orang Barat) adalah kelompok orang yang mempraktekkan kebijakan kolonialisme penjajahan di negara-negara Asia. Sehingga pertanyaan itu tidak ditujukan kepada KH. Hasyim Asy’ari, tetapi kepada H. Agus Salim. “Apa arti jihad? Jelaskan kepada kami!”
Maka H. Agus Salim dengan kecerdasannya, padahal beliau hanya lulus kelas 5 SD tapi bisa menguasai 9 bahasa seperti Arab, Belanda, Jerman, Inggris dan Perancis, menjawab: “Jihad itu maknanya banyak, wahai Tuan Profesor. Yang pertama, jihad itu maknanya ijtihad. Ijtihad itu artinya bersungguh-sungguh menggali daya kreatisifitas berfikir untuk mencari inovasi-inovasi baru.”
H. Agus Salim menjelaskan lagi: “Yang kedua, jihad itu maknanya mujahadah. Artinya bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu, membersihkan diri. Terutama nafsu angkara murka, nafsu menguasai hak milik orang lain. Maka melawan hawa nafsu juga termasuk ke dalam pengertian jihad. Lalu yang ketiga, jihad itu artinya mempertahankan hak.” Kemudian beliau menjelaskan panjang lebar dalam kaitan ini, dan berkata: “Maka Bangsa Indonesia melakukan jihad karena haknya dirampas, hak atas tanah, hak atas kehormatan, tanah kami dirampas dan air kami dirampas.”
Lalu H. Agus Salim secara cerdas bertanya kepada si profesor: “Sekarang saya ingin bertanya kepada Anda, wahai Tuan Profesor. Jika  Amerika, tiba-tiba datang bangsa asing yang mengobrak-abrik rumah Anda, merampas hak milik Anda, tanah Anda diambil, istri Anda diperkosa, apa yang akan Anda lakukan?!”
Profesor itu langsung menjawab: “Saya usir dari Amerika!”
“Begitulah yang dialami oleh kami Bangsa Indonesia. Maka jangan takut dengan kata jihad,” jawab H. Agus Salim.
Nah, kalau konsep bernegara yang sudah diusung oleh para ulama ini kemudian dirusak dengan mengatakan “Kita umat Islam harus mendirikan Khilafah Islmiyyah”, ini artinya sama saja ingin menghancurkan rumah yang sudah didirikan dengan susah-payah.
b.   Dasar Al-Hadits
Lalu, apa pemahaman para sahabat Nabi tentang Khilafah? Khilafah di dalam konteks pemahaman para sahabat Nabi maknanya bukanlah sistem pemerintahan. Kenapa? Karena kalau khilafah maknanya adalah sistem pemerintahan, Nabi Saw. pasti menunjuk seorang pengganti sebelum kewafatannya. Tetapi fakta sejarah, kalau kita buka kitab-kitab tarikh dan hadits, tidak ditemukan satu pun keterangan hadits bahwa Nabi Saw. menunjuk seseorang khalifah yang akan menggantikannya.
Abu Ubaidah Ra. meriwayatkan bahwa para sahabat pernah bertanya:
قَالُوا: أَلا تَسْتَخْلِفُ عَلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
“Kenapa engkau tidak tunjuk seorang khalifah (pengganti atau pemimpin) untuk kami ya Rasulullah?”
فَقَالَ: إِنِ اسْتَخْلَفْتُ عَلَيْكُمْ خَلِيفَةً مِنْ بَعْدِي ثُمَّ عَصَيْتُمْ خَلِيفَتِي نَزَلَ الْعَذَابُ.
Jawab Nabi Saw.: “Jikalau saya tunjuk seorang pengganti setelahku, lalu kalian bermaksiat (tidak patuh) kepada khalifahku, pasti akan turun adzab atas kalian.” (HR. Imam Hakim dalam al-Mustadrak).
Nabi Saw. tidak menganggap khilafah adalah sebuah sistem pemerintah. Sehingga beliau Saw. tidak menunjuk seorang khalifah sepeninggalnya dan sebagai bentuk kasih sayangnya kepada kita umat Islam. Karena doa seorang Rasul Saw. pasti mustajab dan kekecewaan Rasul pasti akan mendatangkan adzab, maka diantara tanda rahmah (kasih sayang) kepada kita Nabi Saw. tidak sebut khalifah sepeninggalnya adalah si fulan, si fulan, dst. Atau Nabi Saw. tidak pernah mengucapkan: “Tetaplah kalian berpegang pada khilafah.” Lalu kenapa disebut kata khilafah?
Para sahabat Nabi, mereka tidak faham dengan yang namanya negara dan tidak pula mengenal kerajaan. Arab itu kenal kerajaan baru sekarang, begitu dipimpin oleh keluarga Sa’ud. Dimulai oleh Muhammad bin Sa’ud yang melakukan revolusi di tanah Arab, barulah mereka mengenal sistem kerajaan. Kenapa mereka menggunakan sistem kerajaan, padahal tempat lahirnya Islam di Saudi Arabia? Mestinya yang ngotot ngomong khilafah adalah Negara Arab, tetapi mengapa mereka tidak menggunakan sistem khilafah?
Raja Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad bin Sa’ud mempunyai istri sampai 40. Ia mengawini wanita di 40 suku yang ada di Arab Saudi supaya kerajaan Saudi tidak digoyang dan tidak terjadi pemberontakan. Setiap kali 4 istri telah memiliki anak, maka ia ceraikan dan kemudian ganti 4 lagi hingga memiliki anak. Begitu seterusnya sampai 40 orang istri. Yang dipertahankan hanya istri pertamanya, tidak dicerai.
Sehingga raja-raja Saudi itu kakak-beradik tapi beda ibu. Raja Fahd dengan Raja Abdullah itu kakak-beradik, tapi beda ibu. Raja Fahd dengan raja sebelumnya, yakni Raja Muhammad, itu juga kakak-beradik tapi beda ibu. Berikutnya, Raja Muhammad ke Raja Khalid, itu juga masih satu bapak tapi ibunya berbeda. Raja Salman bin Abdul Aziz, raja yang galak dan Wahabi tulen. Galak, karena ia pernah menyeret dan memotong langsung orang yang membunuh keponakannya. Jadi segalak-galaknya ulama Wahabi-Saudi, mereka akan takut juga kepada pangerannya.
Arab Saudi tidak menggunakan sistem khilafah, karena berkaitan dengan kepentingan nasionalnya. Mereka belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, bahwa khilafah bukanlah sebuah sistem pemerintahan dan bukan pula sistem politik.
Lalu kenapa para sahabat Nabi memakai kata khalifah/khilafah? Karena khilafah itu maknanya pergantian. Supaya yang namanya kekuasaan itu tidak berpusat pada satu orang, tetapi bergilir dengan cara-cara tertentu. Sehingga “demokrasi” bisa dikatakan sebagai diantara cara untuk memilih khalifah. Jadi hampir mirip, sama-sama menggunakan sistem musyawarah.
Bedanya adalah, memilih khalifah menggunakan sistem musyawarah para pemimpin/pemuka. Dan ternyata kita pernah memakainya saat MPR berkewenangan penuh menentukan presiden dan wakil presiden. Jadi Gus Dur itu adalah “Khalifah” dengan sistem yang pernah dipakai oleh para sahabat Nabi. Karena Gus Dur menjadi Presiden dengan mekanisme musyawarah (yang dipimpin oleh MPR) seperti musyawarah yang pernah dilakukan oleh Sayyidina Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib Ra. dan selainnya, untuk memilih seorang pemimpin.
Tapi setelah dirubah melalui perubahan pertama Undang-Undang Dasar tahun 2000. Ini menarik, karena Gus Dur sendirilah yang mendorong perubahan itu; Ada seorang Presiden mendorong orang lain mengganti sebuah anggar dan peraturan padahal peraturan itu akan merugikan dirinya sendiri. Ini tanda-tanda sebuah ‘legowo’nya seorang pemimpin. Padahal biasanya seorang pemimpin akan membuat sebuah peraturan yang menguntungkan dirinya sendiri. Ini tidak, aturan itu justeru akan merugikan dia. Dan ternyata betul, saat Pilpres 2009 pendaftaran Gus Dur itolak oleh KPU, ditolak oleh aturan yang dia dukung pada waktu itu. Tapi Gus Dur tidak ngambek, paling akan berkata: “Kalau ditolak ya sudah, namanya juga usaha.”
Jadi para sahabat Nabi menyebut kata khalifah sebagai counter bahwa yang namanya kekuasaan itu tidak berpusat pada satu tangan saja seperti yang dipraktekkan di Bangsa Romawi dan Persia, tetapi harus digilir. Karena kekuasaan di Romawi dan Persia itu turun-temurun dari bapak ke anak, ke cucu, dan seterusnya. Pengertian “khilafah” maknanya bukan sistem politik. Sebab kalau sistem itu berbicara dari hilir ke ujung, dan dari ujung ke ujung. Sistem itu berarti terkait dengan ajaran. Sedangkan khilafah ini tidak terkait dengan ajaran Islam. Karena dalam praktek sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan Ra. menggunakan sistem kerajaan tapi namanya khilafah.
Nah, kalau begitu apakah khilafah masih bisa dikatakan sebagai sistem politik Islam? Tidak. Karena dalam kenyataannya sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan Ra. menggunakan sistem kerajaan tapi tidak mau disebut raja. Kalau khilafah disebut sebagai sistem maka tentunya tidak boleh berubah karena sudah apa patokannya.
Inilah dasar yang dijadikan sebagai argumen tidak adanya kewajiban di dalam Islam untuk menegakkan khilafah. Muawiyah bin Abu Sufyan Ra. lebih faham hadits dibanding saya, lebih faham hadits dibanding orang-orang yang mengusung kilafah. Tapi kenapa yang dipakai Muawiyah Ra. justeru adalah kerajaan. Banya bid’ah (hasanah) yang dilakukan oleh sahabat Muawiyah Ra., diantaranya adalah:
1.      Shalat memakai pengawal.
2.      Menyampaikan khutbah dengan para pengiring di bawahnya. Saya ingat pada tahun 90-an di Masjidil Haram, setiap kali imam berkhutbah pasti di bawahnya ada pendamping memegangi mimbarnya. Ini adalah sisa-sisa peninggalan sahabat Muawiyah Ra.
Yang lebih antik lagi adalah teman saya, anggota Muhammadiyah, kaget ketika shalat di Masjidil Haram adzannya 2 kali. Katanya itu adalah bid’ah, maka dijawab: “Bid’ah saja dipakai di Masjidil Haram, apalagi di luar Masjidil Haram.” Bahkan yang mengagetkan sampai di Madinah pun saat shalat Jum’at adzannya 2 kali dan ketika membaca shalawat Nabi sangat lengkap, bukan saja memakai lafadz “Sayyidina”.
Jadi yang namanya khilafah itu tidak diwajibkan baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Dan ditegaskan lagi oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra.: “Rasulullah Saw. tidak pernah menunjuk seorang pemimpin pun kepada kita.” Sehingga kita memandang dengan cara pandang kita bahwa Abu Bakar Ra. lebih layak untuk menjadi pemimpin.
Perlu digarisbawahi pada kalimat “sehingga kita memandang dengan cara pandang kita”, artinya adalah ijtihad. Bahwa persoalan, rotasi kepemimpinan dan menjalankan pemerintahan adalah wilaah ijtihad, bukan wilayah syariah. Wilayah ijtihad itu sifatnya situasional.
3.    Klaim Keji Atas Umat Islam yang Tidak Menyetujui Khilafah
Betulkah umat Islam yang tidak setuju dengan Khilafah Islamiyah disebut sebagai kaum munafik, bahkan kafir? Mereka menganggap hukum di Indonesia adalah menganut sistem thaghut (setan) sehingga wajib mengingkarinya dan harus ditegakkan khilafah untuk menggantikannya. Mereka bahkan menjanjikan surga bagi siapapun yang melaksanakannya, sesuai yang diajarkan oleh ustadz-ustadz mereka. Surga, mereka kapling dan seakan surga itu sempit yang hanya cukup untuk mereka.
Saya sering katakan kepada para mahasiswa saya di UI, bahwa surga itu luasnya lebih luas daripada bumi dan langit. Allah Swt. berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 133:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu menuju ampunan Tuhanmu dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
Langit saja 7 lapis, bumi pun demikian. Surga lebih luas darinya. Jadi kalau jamaah Nahdliyyin 30 juta semuanya masuk surga, niscaya surga masih tetap luas. Jangan merasa surga itu sempit. Sampai-sampai sekarang banyak bermunculan agen properti surga di mana-mana. Banyak yang tertipu dengan ajakan khilafah, karena ada janji-janji politik. Ketika agama sudah dibumbui atau dimasuki oleh ras kepentingan politik, maka itu bukan lagi agama.
Saya sering bertanya kepada para aktifis khilafah: “Andaikata semua orang Islam di Indonesia sepakat dengan khilafah dan semua orang non-Muslim juga mau menerima khilafah, pertanyaannya adalah siapa yang bakal jadi khalifahnya? Apakah dari orang NU?”
“Wah jangan dari NU, ahli bid’ah!” jawab aktifis khilafah.
“Apakah dari Muhammadiyah?”
“Oh nggak bisa, karena mereka selalu memerangi kita!”
Ditanya lagi apakah dari ormas A, B, C dst., dijawabnya tetap tidak bisa karena bla.. bla... bla... Ujung-ujungnya dia sendiri yang ingin jadi khalifah. Nah, ini kan namanya berusaha, menarik simpati dengan cara menjual nama orang. Rupanya ada agenda, udang di balik batu. Ada agenda yang mereka inginkan untuk melakukan pemberontakan. Beberapa kali saya mendengarkan diskusi mereka, yang arahnya pada pemberontakan. Mengganti, mengganti dan mengganti.
Lalu kutanyakan: “Nah sekarang kalau misalnya kalian sudah mapan mempunyai rencana, apa yang mau dilakukan?”
“Ya mau tak mau harus didukung oleh Ahlul Quwwah.”
“Siapa Ahlu Quwwah?
“TNI dan POLRI.”
“Ya sama saja, ujung-ujungnya kalian berpolitik juga.”
“Bukan begitu Ustadz, begini maksudnya supaya hukum Islam itu tegak!”
“Pertanyaanku sekarang, hukum Islam mana yang tidak tegak di Indonesia? Semuanya tegak kok. Undang-undang perkawinan, itu sudah sesuai dengan madzhab Syafi’iyah, madzhab terbesar di Indonesia. Undang-undang zakat sudah ada, undang-undang bank syariah juga ada. Apa lagi? Jadi, semua urusan agama sudah dijalankan oleh negara,” jawabku.
“Ya, tapi kan negara tak mungkin menyuruh orang untuk shalat!?”
“Shalat itu tidak boleh dipaksakan. Karena Allah Swt. berfirman dalam QS. Thaha ayat 132:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan perbesarlah kesabaranmu dalam mengerjakannya.”
Artinya kalau orang belum mau shalat, ya jangan digebuk atau dipentung. Kalau seperti itu akhirnya orang tak bersimpati kepada agama. Tetangga tidak shalat langsung dianggapnya kafir. Bukan begitu caranya, harus memakai cara lain yang baik.
 Di Arab Saudi saja, bukan jarang orang yang tidak shalat tapi banyak. Saya pernah telat berangkat shalat Maghrib berjamaah di Masjidil Haram. Di sepanjang jalan masih banyak penjaga toko yang ada di tokonya dan orang-orang yang tongkrongan. Askar (polisi syariah)nya hanya mondar-mandir. Itu terjadi di negara yang jelas-jelas telah mengatakan berdasarkan kepada syariah (hukum Islam). Tapi untuk urusan shalat, tidak bisa memaksa. Yang dihukum itu kalau sudah ‘memprovokasi’ orang lain agar tidak shalat.
Maka Indonesia pun sudah melaksanakan itu, dengan Undang-undang nomer 1 tahun 1965, yaitu undang-undang tentang penistaan dan penodaan terhadap agama. Siapa saja yang memprovokasi, siapapun yang menodai gama, maka dia berhadapan dengan negara. Ini sebenarnya hukum Islam, hanya saja tidak disebut dengan hukum Islam.
Di dalam KUHP pasal 132 disebutkan: “Barangsiapa menghalang-halangi suatu kegiatan keagamaan atau menista tokoh-tokoh agama, maka dia dihukum selama 3 bulan kurungan penjara dan uang sebesar 500 rupiah.”
Kalau begitu, tanpa menyebut Islam saja materinya sudah Islami. Apa semuanya harus dipakaikan label syariah atau Islam? Lama-lama, saking tak tahannya orang mau ke diskotik, akhirnya ada diskotik syariah. Nanti ada panti pijat syariah, bilyard syariah, sesuai dengan syariah Islam karena yang main pakai cadar semua. Bukan begitu.
4.    Sikap Para Ulama Terhadap Gagasan Khilafah
Para ulama kita dahulu sudah berfikir secara taktis kenapa Indonesia ini tidak usah pakai label Islam. Karena Islam sudah memasyarakat. Yang perlu dibenahi adalah mentalitas kita sebagai umat Islam. Bagaimana agar kita umat Islam mempunyai daya kompetisi, seimbang antara iman dan amal shalehnya. Karena problem terbesar umat Islam Indonesia adalah belum seimbangnya antara iman dan amal shaleh.
Imannya bagus tapi korupsi, berarti amal shalehnya yang masih jelek. Maka kita lihat para koruptor itu nampak shaleh, haji dan umrahnya berkali-kali, puasa Senin-Kamisnya rajin, pertanda imannya bagus tetapi amal shalehnya yang kurang. Karena amal shaleh itu berbicara dimensi horizontal. Umat Islam ini punya problem belum seimbangnya dimensi vertikal dengan horizontalnya. Urusan ke Allah bagus tapi muamalahnya yang belum bagus. Maka kita benahi urusan muamalah ini.
Berekonomi bermuamalah yang jujur, bekerja yang profesional, punya semangat daya saing, kreatifitas harus dibangun, saling tolong-menolong, menghargai pada sesama, menghormati terhadap perbedaan, inilah yang harus kita benahi. Lha kok tiba-tiba muncul satu gerakan yang menyatakan ‘kesalahan orang Islam’.
Coba kita baca buku-buku agama di Gramedia misalnya, itu isinya yang salah-salah terus. Kesalahan orang Islam, mengoreksi terhadap kesalahan Tahlilan, mencari kesalahan tasawuf, dlsb. Jadi ngajinya yang salah-salah terus, makanya Salah-Fikir (Salafi). Kita ini mencari yang benar. Dan benar itu bukan ada di satu kelompok golongan, tetapi mungkin ada di mana-mana. Itulah yang dikatakan Imam Syafi’i Ra.: “Pendapat saya mungkin salah, tapi mengandung kemungkinan benar. Dan pendapat Anda mungkin benar, tapi mengandung kemugkinan salah.” Artinya kita sebagai manusia ini relatif, bisa jadi benar bisa jadi salah. Tidak ada yang benar mutlak. Yang benar mutlak itu Allah, tapi yang salah mutlak itu setan.
Lalu kalau kita lihat dalam tinjauan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyah, dalam lambang NU ada bintang sembilan; 1 bintang paling besar perlambang Rasulullah Saw., 4 bintang besar perlambang Khulafaur Rasyidin, 4 di bawahnya simbol 4 madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Karena itu Kyai Sahal Mahfudz pernah mengatakan: “Saya ini sudah kenyang fiqih madzhab Syafi’i.” Maka beliau pun mempelajari fiqih di madzhab lainnya, Hanafi, Maliki dan Hanbali sampai mahir.
Bahkan, singkat cerita, perkenalan beliau dengan Guru Besar Syaikh M. Yasin bin M. Isa al-Faddani orang Padang yang jadi ulama besar ahli hadits di Mekkah, adalah bermula dari adu opini. Sebelum menjadi santrinya saja Mbah Sahal sudah berani bermurasalah (surat-menyurat) dengan ulama besar. Maka hebatnya, ketika Mbah Sahal turun dari kapal di Pelabuhan Jeddah, Syaikh Yasin al-Faddani langsung memeluknya sembari menerka: “Sahal Mahfudz!”
“Man antum?” tanya Kyai Sahal.
Dijawab: “Ana Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Faddani.”
Pecahlah tangis Mbah Sahal karena ulama yang dikaguminya itu justeru yang pertamakali menegurnya, bukan dirinya yang mencari sang ulama.
Kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah itu ada 2 versi, versi muhadditisin Imam Ahmad bin Hanbal dan versi Asyairah Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Tapi madzhabnya Imam Ahmad bin Hanbal sudah dimanipulasi. Kalau kita baca pendapat-pendapat Imam Ahmad, justeru itulah yang banyak dipraktekkan oleh kita (Syafi’iyyah) seperti sampainya pahala bacaan al-Quran kepada mayyit dan kesunnahan membaca al-Quran di kuburan karena dapat menolong si mayit dan menambah kemuliaan jika mayit itu orang shaleh. Buktinya silakan baca di kitab-kitab susunan murid Ibn Taimiyah, yakni Ibn Qayyim al-Jauziyah.
Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyah menegaskan bahwa khilafah itu bukan sistem politik Islam. Lihat dalam kitab yang berjudul al-Ahkam as-Sulthaniyah halaman 15, disebutnya “al-imamah” dan bukan al-khilafah:
الْاِمَامَةُ مَوْضُوْعٌ فِيْ رِعَايَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الْاُمَّةِ
“Kepemimpinan itu adalah sebuah topik yang selalu dibicarakan dalam kaitannya untuk menjaga agama dan mengelola urusan orang banyak.”
Disebut imamah karena Imam al-Mawardi sadar betul bahwa khilafah itu bukan sistem. Tapi dengan jalan menyerahkan kepemimpinan kepada orang yang dipandang mampu untuk mengelolanya sehingga bermanfaat bagi orang banyak. Inilah cara pandang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang diwakili oleh pemikiran Imam al-Mawardi. Pertanyaannya sekarang adalah, kenapa para ulama tidak memilih khilafah?
Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sadar betul bahwa kondisi sosial politik Bangsa Indonesia waktu itu mereka sudah paham terhadap ajaran agama. Lalu yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya menyatukan wilayah besar yang terpisah-pisah bukan hanya oleh kondisi geografis tapi juga oleh agama dan kepercayaan masing-masing. Menjaga agar orang lain tidak berburuk sangka itu lebih utama dibanding memaksakan kehendak sendiri. Maka, cita-cita tertingginya adalah bagaimana agar penjajah Belanda pergi, negeri aman sehingga bisa saling menghormati, niscaya agama akan berjalan mulus.
Andaikata waktu itu KH. Abdul Wahid Hasyim yang menggantikan posisi ayahandanya, Kyai Hasyim Asy’ari, pada sidang PPKI memaksakan kehendak bahwa presiden harus beragama Islam, maka akan lain jadinya. Tetapi setelah mendapatkan pertimbangan dari para tokoh ketika itu, maka dicabutlah (ditarik kembali) pendapatnya. Sehingga Pasal 7 UUD 45 berbunyi: “Presiden adalah orang Indonesia asli.”
Adapun Islam itu adalah kesepakatan secara aklamasi bahwa dia (presiden) seyogyanya adalah seorang muslim yang mewakili mayoritas umat Islam, tak perlu ditulis di situ. H. Agus Salim diskusi dengan KH. Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, untuk urusan Pasal 7 UUD 45 itu. Dan itu menjadi rumusan yang luar biasa, menunjukan kedewasaan berpolitik umat Islam saat itu.
Ide khilafah atau khalifah sudah dimunculkan oleh Mr. Moh. Yamin pada sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei tahun 1945. Moh. Yamin mengatakan bahwa pemimpin adalah khalifah dan sistemnya adalah khilafah. Tetapi yang menarik di sini adalah, Moh. Yamin bukanlah tokoh Islam, melainkan dari PNI (Partai Nasionalis Indonesia) tapi bicaranya tentang khilafah. Sedangkan kelompok-kelompok Islam waktu itu menolak usulan Moh. Yamin. Ini kan jadi pertanyaan, kenapa ide khilafah justeru muncul dari partai nasionalis dan yang menolaknya adalah dari partai Islam?
Inilah yang dipikirkan, jangan sampai satu kata itu (Islam) menimbulkan konflik. Maka pada saat itu para ulama berpegang pada satu kaidah fiqih:
دَرْأُ الْمَفَاسِد مُقَدَّمٌ عَلَي جَلْبِ الْمَصَالِح
“Mencegah terjadinya kerusakan lebih didahulukan dibandingkan menciptakan kebaikan.”
Menjaga persatuan itu lebih kita utamakan dibanding memaksakan pikiran kita sendiri. Inilah sumbangan terbesar umat Islam untuk membawa Republik Indonesia. Karena itu disebut sebagai RI (Republik Indonesia), juga bisa bermakna Ruhul Islam (jiwa dari Islam). Negara Kesatuan Republik Indonesia resmi terbentuk melalui sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, hampir mirip dengan terbentuknya masyarakat Madinah. Terbentuknya Undang-Undang Dasar 1945 hampir mirip dengan terbentuknya Piagam Madinah. Maka ada kajian tersendiri tentang perbandingan Piagam Madinah dengan Piagam Undang-Undang Dasar 1945. Jadi kalau kita lihat secara substansi, ini sudah sangat sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Karena itulah kenapa paham Ahlussunnah wal Jama’ah tumbuh subur di Indonesia karena memang basicknya sudah sejalan dengan basick pendiri dan pembawa ajaran Islam itu sendiri, yaitu Nabi Besar Muhammad Saw. Maka tidak bisa terpisahkan antara Islam dengan Indonesia, itu satu tarikan nafas. Dan NU dengan Indonesia tidak bisa terpisahkan.
NU itu sebelum Indonesia merdeka, sudah dikhianati. Dikhianati dalam sidang Komite Kongres al-Islami Cirebon tahun 1921, dibombardir dengan isu-isu khilafiyah. Lalu pada tahun 1922 juga dikecewakan oleh Kongres Surabaya. Kemudian pasca kemerdekaan, NU dicurigai sebagai antek-antek Nasakom. Menjelang tahun 1965 banyak kyai NU yang menjadi korban keganasan pembunuhan dan penculikan. Pada masa Orde Baru NU dicurigai lagi, sehingga tidak diberikan tempat sedikitpun. Luar biasa.
Jadi pada zaman Pak Harto, NU itu dicurigai. Maka pada Muktamar NU waktu itu tempatnya di Situbondo, dikatakan artinya adalah NU-nya dibondo (dibelenggu). Ketika Muktamar NU di Cipasung, dikatakan artinya NU-nya dipasung. Orde Baru tidak suka karena NU merupakan potensi terbesar umat Islam, maka tidak diberikan peran. Tapi pada masa reformasi, NU dicari-cari. Semua mengaku sebagai NU apalagi saat Gus Dur menjadi presiden. Satu berkah bagi warga Nahdliyin bahwa kita punya peran yang sangat banyak untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka kewajiban bagi kita untuk mempertahankan perjuangan para ulama tersebut.
Demikian semoga bisa menjadi pendidikan politik bagi kita, bagaimana kita memahami proses perjalanan bangsa kita, dan yang paling penting lagi adalah bagaimana kita selalu berusaha untuk melakukan upaya kontekstualisasi ajaran agama. Kita hidup di Indonesia, maka bagaimanapun juga harus ada semangat ke-Indonesia-an ketika kita mengamalkan ajaran agama. Bukankah Rasulullah Saw. juga cinta kepada Madinah. Rasulullah Saw. mempunyai semangat nasionalisme. Ketika sampai di Kota Madinah, Rasulullah Saw. berdoa:
اللَّهُمَّ حَبِّبْ اِلَيْنَا فِي الْمَدِيْنَة. اللَّهُمَّ حَبِّبْ لَنَا الْمَدِيْنَةَ أَشَدَّ مِنْ مَكَّةَ.
“Ya Allah, berilah anugerah kepada kami cinta kepada Madinah yang lebih hebat dari kecintaan kami kepada Kota Mekkah.” (HR. Imam Bukhari).
(Ditranskip dari ceramah KH. Abdi Kurnia Djohan, SH., MH di Masjid Al-Hidayah Kota Serang Baru Cikarang, Jum’at malam Sabtu tanggal 15 Agustus 2014).
 
back to top