الدّفاعة
على شبهة الخلافة
MENGAPA INDONESIA
BUKAN KHILAFAH?
Daftar Isi:
1. Awal Mula
Kemunculan Gagasan Khilafah
2. Bantahan
Atas Gagasan Khilafah
a. Dasar
Al-Quran
b. Dasar
Al-Hadits
3. Klaim Keji
Atas Umat Islam yang Tidak Menyetujui Khilafah
4.
Sikap Para
Ulama Terhadap Gagasan Khilafah
بسم الله الرحمن الرحيم
Allah
Swt. berfirman dalam QS. an-Nisa’ ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ
وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasulullah, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan
Rasulullah (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Rasulullah Saw. bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ منْ بَعْدِي
“Berpegangteguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah
Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyyin setelahku.” (HR. Ibn Majah, ad-Darimi, Ibn Hibban, al-Hakim, Abu
Daud dan at-Tirmidzi).
1. Awal Kemunculan
Gagasan Khilafah
Disebut-sebut ‘khilafah’ mulai ramai sejak tahun 2000,
kurang lebih sudah 14 tahun lamanya. Tidak sedikit kader-kader Nahdlatul Ulama
yang tertipu dan ‘tergelincir’, sehingga memberikan dukungan moril maupun
materiil terhadap Hizbul Khilafah.
Dalam sebuah perbincangan dengan guru saya, KH. Abdul
Adzim bin Muhammad Suhaimi, seorang ulama sepuh di kawasan Mampang Prapatan
Jakarta Selatan. Beliau adalah ulama senior dari alumni Universitas al-Azhar
Mesir. Beliau pertama yang menulis tesis tentang ‘Gerakan Zionisme di Dunia
Islam’. Beliau mengatakan kepada saya: “Isu khilafah itu pernah
digembar-gemborkan di Mesir, tetapi tidak laku. Kemudian isu itu diekspor ke
Australia.”
Setelah saya coba telususri, siapa yang pertamakali
membawa isu khilafah ke Indonesia. Orangnya masih hidup di Kota Bogor, namanya
Abdurrahman al-Baghdadi. Dia adalah lulusan IPB Bogor yang pernah menuntut
ilmu, sekolah S2 di Australia. Di sana ia bertemu dengan para aktifis khilafah
dan membawa isu khilafah ini ke Indonesia. Kemudian di Indonesia ia mengkader
antara lain Bapak Mahfudz Kurnia, Ismail Yusanto dan Muhammad al-Kahattat (nama
aslinya Gatot Yujobroto). Beberapa dari yang lainnya kemudian mendirikan cabang
yang dinamai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Sebelum mendirikan gerakan tersebut, Abdurrahman
al-Baghdadi berputar kemana-mana dalam rangka menawarkan gagasan khilafah.
Gagasan ini selalu mendapat penolakan. Ketika ditawarkan ke Jamaah Tabligh (JT)
tetapi ditolak. Kata mereka: “Lho jangan tawarkan khilafah ke saya. Kalau
mau tawarkan masjid kosong, ya pati saya terima.” Kemudian gagasan itu
ditawarkan ke Dewan Dakwah, tetapi juga ditolak.
Sehingga gagasan khilafah ini sempat menjadi ‘musuh
bersama’ di antara ormas-ormas Islam. Tetapi Abdurrahman al-Baghdadi tidak
berani menawarkannya ke PBNU, karena sudah alergi dengan Gus Dur ketika itu.
Jadi Gus Dur ini tidak perlu berdebat, dengar namanya saja orang sudah enggan.
Ini luar biasanya Gus Dur, namanya menang sebelum perang. Jadi tidak perlu
banyak mengeluarkan energi, karena Gus Dur selalu memakai prinsip: “Gitu aja
koq repot”!
Itulah awal-mula munculnya gagasan khilafah, yang
kemudian berkembang terus dari IPB masuk ke UI, ITB dan kemudian berkembang ke
universitas atau kampus-kampus negeri unggulan di Pulau Jawa. Sampai sekarang,
yang mengagetkan saya, isu khilafah sudah sampai di pulau terkecil di Sulawesi
Tenggara.
Dan yang mengecewakan saya, nama saya dicatut sebagai
ustadz khilafah. Kenapa? Karena saya ini dianggap dekat dengan aktifis-aktifis
khilafah dan pada akhirnya saya dianggap sebagai guru mereka. Dan parahnya itu
dijadikan sebagai jualan. Silakan searching di google maka akan ditemukan nama
saya. Itu awalnya saat saya menghadiri sebuah seminar ‘Menyikapi Jatuhnya
Husni Mubarak dari Kursi Pemerintahan’. Saya tidak tahu kalau acara itu
ternyata adalah acara promosi mereka. Yang menghadirinya kebanyakan kau awam
dari berbagi macam lapisan masyarakat.
Tetapi yang membuat saya tertawa adalah bahasanya seperti
bahasa Bakornas dan Bapernas. Maksudnya, bahasanya di sana bukan bahasa
merakyat, tetapi bahasa yang sifatnya elit seperti membahas pendapatan negara
dan membahas kebijakan politik. Sedangkan yang hadir di situ adalah seperti
tukang sayur dan tukang jamu, sampai mereka saling bertanya: “Pendapatan
perkapita itu apa?” Bahkan terlalu tinggi, sehingga saya yakin dari sekian
banyak peserta yang menghadirinya tidak faham apa itu isu khilafah.
Yang mengagetkan saya lagi, tidak sedikit kader-kader NU
yang sudah sampai pada tingkatan disebut ‘kyai’, pada beberapa waktu yang lalu
ramai-ramai datang ke sebuah lembaga pemerintahan menyatakan dukungannya
terhadap perjuangan khilafah. Sehingga saya berfikir kalau ini didiamkan yang
terancam bukan cuma negara, tapi juga agama. Karena ada upaya politisasi agama
untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu.
2. Bantahan Atas Gagasan
Khilafah
Pertanyaannya adalah, apa itu khilafah? Apa benar khilafah
itu sebuah sistem yang diharuskan oleh Rasulullah Saw. untuk kita terapkan?
a. Dasar
Al-Quran
Khilafah itu bentuk mashdar dari khalafa-yakhlufu (خلف – يخلف), yang artinya
mengikuti. Di dalam al-Quran kata khilafah dipakai dalam bentuk isim
fa’il; khalifah, artinya orang yang mengikuti atau orang yang diberikan
kewenangan. Maka kalau kita lihat dalam QS. al-Baqarah ayat 30:
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي
الْأَرْضِ خَلِيْفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Tetapi makna khalifah di sini adalah hamba Allah yang menjalankan
tugas dan fungsinya sesuai dengan amanah yang Allah berikan; sebagai wakil
Tuhan di muka bumi. Lalu di dalam QS. Shad ayat 26, Allah menyebut kata
khalifah untuk menunjukkan tugas yang dijalankan oleh Nabi Daud As.:
یَادَاوُد إِنَّا جَعَلْناكَ خَلِیفَةً فِی الْأَرْضِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa, penerus amanah Allah yang telah Allah titipkan pada para nabi
sebelumnya) di muka bumi.”
Nah, kalau kita lihat kata khalifah atau khilafah di
dalam al-Quran tidak menunjuk kepada sistem pemerintahan. Kenapa? Karena
al-Quran diturunkan bukan untuk bikin negara. Tidak ada kewajiban bagi setiap
Muslim di muka bumi ini untuk mendirikan Negara Islam.
Bahkan Partai Masyumi, yang sering disebut-sebut sebagai
partai yang berambisi untuk mendirikan Negara Islam, melalui keterangan resmi
dari sekjennya, Almarhum H. Anwar Haryono, mengatakan: “Dengan usaha Masyumi
mempertahankan 7 kata di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar dan 7 kata di
dalam sila pertama Pancasila, jangan diartikan bahwa Masyumi ingin mendirikan
Negara Islam di Indonesia.”
Pernyataan ini bisa dibaca dalam buku yang ditulis
olehnya, berjudul ‘Politik Bangsa Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan”. Statemen
itu menunjukkan bahwa memang Islam itu ada bukan untuk mendirikan negara. Saya
kira ucapan dari Masyumi itu senafas dengan semangat yang diusung oleh para
kyai pendiri Nahdlatul Ulama, bahwa: “Islam itu ada, bukan untuk mendirikan
negara.”
Tetapi, kalau kita lihat dengan perkembangannya sekarang
ini justru informasi-informasi tentang Sirah Nabawiyyah (perjalanan Nabi
Muhammad Saw.) dan juga terjemahan-terjemahan al-Quran, dimanipulasi oleh
kelompok tertentu lalu diarahkan pada satu kesimpulan bahwa: “Kalau sudah
ngaji, kita mendirikan negara sesuai dengan isi pengajian.” Nah ini kan
berbahaya, karena:
1. Al-Quran memerintahkan umat Islam
untuk selalu berpegang pada komitmen (perjanjian).
Disebutkan dalam QS. al-Maidah ayat 1:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah (peganglah)
aqad-aqad (perjanjian) itu”. Dalam konteks yang lebih sederhana, perjanjian itu
deperti hutang-piutang, komitmen kerja, kontrak kerja. Maka kita harus memegang
komitmen. Kalau misalnya kontrak kerja kita dari jam 7 sampai jam 5, maka kita
konsiten melaksanakan pekerjaan harus dari jam 7 sampai jam 5.
Dalam konteks yang lebih makro (luas) lagi adalah taat
terhadap konstitusi. Karena konstitusi (Undang-Undang Dasar) itu adalah
komitmen bersama kita sebagai warga negara, sebagai bangsa untuk mendirikan
negara yang kita cita-citakan. Dan itu sudah diakui dengan cara pemiliha umum,
pemilihan presiden, bahwa siapapun yang terpilih nanti maka kita sami’na wa
atha’na; kita dengar dan kita taati.
Nah kalau umat Islam justru punya cara pandang yang lain,
yang berimplikasi pada rusaknya komitmen itu, kita lihat konteks ayatnya
disebutkan diawali dengan munada’ “Ya ayyuhalladzina amanu”, panggilan
terhadap orang-orang yang beriman. Lalu setelah itu diikuti dengan fi’il amr “Aufu
bil ‘uqud”. Artinya kalau orang itu gemar merusak perjanjian, maka kualitas
keimanannya pun diragukan. Sebab diantara ciri orang beriman itu dia punya
komitmen. Jangan sampai paginya ngomong tahu, sore ngomongnya tempe. Kalau
konsisten, tahu ya tahu-tempe ya tempe, meskipun asalnya sama-sama dari
kedelai.
2. Rusaknya keutuhan bangsa dan
negara Indonesia yang telah susah-payah diperjuangkan oleh para orangtua kita
terdahulu.
Ada satu dialog yang menarik tentang jihad, yang
dikatakan H. Agus Salim ketika beliau ditanya oleh seorang profesor sebuah
universitas di Amerika. Jadi, setelah Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
mengobarkan Resolusi Jihad, kata jihad adalah kata yang paling menakutkan bagi
orang-orang Barat. Karena pada saat itu, mereka (orang Barat) adalah kelompok
orang yang mempraktekkan kebijakan kolonialisme penjajahan di negara-negara
Asia. Sehingga pertanyaan itu tidak ditujukan kepada KH. Hasyim Asy’ari, tetapi
kepada H. Agus Salim. “Apa arti jihad? Jelaskan kepada kami!”
Maka H. Agus Salim dengan kecerdasannya, padahal beliau
hanya lulus kelas 5 SD tapi bisa menguasai 9 bahasa seperti Arab, Belanda,
Jerman, Inggris dan Perancis, menjawab: “Jihad itu maknanya banyak, wahai
Tuan Profesor. Yang pertama, jihad itu maknanya ijtihad. Ijtihad itu artinya
bersungguh-sungguh menggali daya kreatisifitas berfikir untuk mencari
inovasi-inovasi baru.”
H. Agus Salim menjelaskan lagi: “Yang kedua, jihad itu
maknanya mujahadah. Artinya bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu, membersihkan
diri. Terutama nafsu angkara murka, nafsu menguasai hak milik orang lain. Maka
melawan hawa nafsu juga termasuk ke dalam pengertian jihad. Lalu yang ketiga,
jihad itu artinya mempertahankan hak.” Kemudian beliau menjelaskan panjang
lebar dalam kaitan ini, dan berkata: “Maka Bangsa Indonesia melakukan jihad
karena haknya dirampas, hak atas tanah, hak atas kehormatan, tanah kami
dirampas dan air kami dirampas.”
Lalu H. Agus Salim secara cerdas bertanya kepada si
profesor: “Sekarang saya ingin bertanya kepada Anda, wahai Tuan Profesor.
Jika Amerika, tiba-tiba datang bangsa
asing yang mengobrak-abrik rumah Anda, merampas hak milik Anda, tanah Anda
diambil, istri Anda diperkosa, apa yang akan Anda lakukan?!”
Profesor itu langsung menjawab: “Saya usir dari
Amerika!”
“Begitulah yang dialami oleh kami Bangsa Indonesia. Maka
jangan takut dengan kata jihad,” jawab H. Agus Salim.
Nah, kalau konsep bernegara yang sudah diusung oleh para
ulama ini kemudian dirusak dengan mengatakan “Kita umat Islam harus
mendirikan Khilafah Islmiyyah”, ini artinya sama saja ingin menghancurkan
rumah yang sudah didirikan dengan susah-payah.
b. Dasar
Al-Hadits
Lalu, apa pemahaman para sahabat Nabi tentang Khilafah? Khilafah
di dalam konteks pemahaman para sahabat Nabi maknanya bukanlah sistem
pemerintahan. Kenapa? Karena kalau khilafah maknanya adalah sistem pemerintahan,
Nabi Saw. pasti menunjuk seorang pengganti sebelum kewafatannya. Tetapi fakta
sejarah, kalau kita buka kitab-kitab tarikh dan hadits, tidak ditemukan satu
pun keterangan hadits bahwa Nabi Saw. menunjuk seseorang khalifah yang akan
menggantikannya.
Abu Ubaidah Ra. meriwayatkan bahwa para sahabat pernah
bertanya:
قَالُوا: أَلا تَسْتَخْلِفُ عَلَيْنَا
يَا رَسُولَ اللَّهِ
“Kenapa engkau tidak tunjuk seorang khalifah (pengganti
atau pemimpin) untuk kami ya Rasulullah?”
فَقَالَ: إِنِ اسْتَخْلَفْتُ عَلَيْكُمْ
خَلِيفَةً مِنْ بَعْدِي ثُمَّ عَصَيْتُمْ خَلِيفَتِي نَزَلَ الْعَذَابُ.
Jawab Nabi Saw.: “Jikalau saya tunjuk seorang
pengganti setelahku, lalu kalian bermaksiat (tidak patuh) kepada khalifahku,
pasti akan turun adzab atas kalian.” (HR. Imam Hakim dalam al-Mustadrak).
Nabi Saw. tidak menganggap khilafah adalah sebuah sistem
pemerintah. Sehingga beliau Saw. tidak menunjuk seorang khalifah sepeninggalnya
dan sebagai bentuk kasih sayangnya kepada kita umat Islam. Karena doa seorang
Rasul Saw. pasti mustajab dan kekecewaan Rasul pasti akan mendatangkan adzab,
maka diantara tanda rahmah (kasih sayang) kepada kita Nabi Saw. tidak
sebut khalifah sepeninggalnya adalah si fulan, si fulan, dst. Atau Nabi Saw.
tidak pernah mengucapkan: “Tetaplah kalian berpegang pada khilafah.” Lalu
kenapa disebut kata khilafah?
Para sahabat Nabi, mereka tidak faham dengan yang namanya
negara dan tidak pula mengenal kerajaan. Arab itu kenal kerajaan baru sekarang,
begitu dipimpin oleh keluarga Sa’ud. Dimulai oleh Muhammad bin Sa’ud yang
melakukan revolusi di tanah Arab, barulah mereka mengenal sistem kerajaan.
Kenapa mereka menggunakan sistem kerajaan, padahal tempat lahirnya Islam di
Saudi Arabia? Mestinya yang ngotot ngomong khilafah adalah Negara Arab, tetapi
mengapa mereka tidak menggunakan sistem khilafah?
Raja Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad bin Sa’ud
mempunyai istri sampai 40. Ia mengawini wanita di 40 suku yang ada di Arab
Saudi supaya kerajaan Saudi tidak digoyang dan tidak terjadi pemberontakan.
Setiap kali 4 istri telah memiliki anak, maka ia ceraikan dan kemudian ganti 4
lagi hingga memiliki anak. Begitu seterusnya sampai 40 orang istri. Yang
dipertahankan hanya istri pertamanya, tidak dicerai.
Sehingga raja-raja Saudi itu kakak-beradik tapi beda ibu.
Raja Fahd dengan Raja Abdullah itu kakak-beradik, tapi beda ibu. Raja Fahd
dengan raja sebelumnya, yakni Raja Muhammad, itu juga kakak-beradik tapi beda
ibu. Berikutnya, Raja Muhammad ke Raja Khalid, itu juga masih satu bapak tapi
ibunya berbeda. Raja Salman bin Abdul Aziz, raja yang galak dan Wahabi tulen.
Galak, karena ia pernah menyeret dan memotong langsung orang yang membunuh
keponakannya. Jadi segalak-galaknya ulama Wahabi-Saudi, mereka akan takut juga
kepada pangerannya.
Arab Saudi tidak menggunakan sistem khilafah, karena
berkaitan dengan kepentingan nasionalnya. Mereka belajar dari
peristiwa-peristiwa sebelumnya, bahwa khilafah bukanlah sebuah sistem
pemerintahan dan bukan pula sistem politik.
Lalu kenapa para sahabat Nabi memakai kata
khalifah/khilafah? Karena khilafah itu maknanya pergantian. Supaya yang namanya
kekuasaan itu tidak berpusat pada satu orang, tetapi bergilir dengan cara-cara
tertentu. Sehingga “demokrasi” bisa dikatakan sebagai diantara cara untuk
memilih khalifah. Jadi hampir mirip, sama-sama menggunakan sistem musyawarah.
Bedanya adalah, memilih khalifah menggunakan sistem
musyawarah para pemimpin/pemuka. Dan ternyata kita pernah memakainya saat MPR
berkewenangan penuh menentukan presiden dan wakil presiden. Jadi Gus Dur itu
adalah “Khalifah” dengan sistem yang pernah dipakai oleh para sahabat Nabi.
Karena Gus Dur menjadi Presiden dengan mekanisme musyawarah (yang dipimpin oleh
MPR) seperti musyawarah yang pernah dilakukan oleh Sayyidina Utsman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib Ra. dan selainnya, untuk memilih seorang pemimpin.
Tapi setelah dirubah melalui perubahan pertama
Undang-Undang Dasar tahun 2000. Ini menarik, karena Gus Dur sendirilah yang
mendorong perubahan itu; Ada seorang Presiden mendorong orang lain mengganti
sebuah anggar dan peraturan padahal peraturan itu akan merugikan dirinya
sendiri. Ini tanda-tanda sebuah ‘legowo’nya seorang pemimpin. Padahal
biasanya seorang pemimpin akan membuat sebuah peraturan yang menguntungkan
dirinya sendiri. Ini tidak, aturan itu justeru akan merugikan dia. Dan ternyata
betul, saat Pilpres 2009 pendaftaran Gus Dur itolak oleh KPU, ditolak oleh
aturan yang dia dukung pada waktu itu. Tapi Gus Dur tidak ngambek, paling akan
berkata: “Kalau ditolak ya sudah, namanya juga usaha.”
Jadi para sahabat Nabi menyebut kata khalifah sebagai
counter bahwa yang namanya kekuasaan itu tidak berpusat pada satu tangan saja
seperti yang dipraktekkan di Bangsa Romawi dan Persia, tetapi harus digilir.
Karena kekuasaan di Romawi dan Persia itu turun-temurun dari bapak ke anak, ke
cucu, dan seterusnya. Pengertian “khilafah” maknanya bukan sistem politik.
Sebab kalau sistem itu berbicara dari hilir ke ujung, dan dari ujung ke ujung.
Sistem itu berarti terkait dengan ajaran. Sedangkan khilafah ini tidak terkait
dengan ajaran Islam. Karena dalam praktek sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan Ra.
menggunakan sistem kerajaan tapi namanya khilafah.
Nah, kalau begitu apakah khilafah masih bisa dikatakan
sebagai sistem politik Islam? Tidak. Karena dalam kenyataannya sahabat Muawiyah
bin Abu Sufyan Ra. menggunakan sistem kerajaan tapi tidak mau disebut raja.
Kalau khilafah disebut sebagai sistem maka tentunya tidak boleh berubah karena
sudah apa patokannya.
Inilah dasar yang dijadikan sebagai argumen tidak adanya
kewajiban di dalam Islam untuk menegakkan khilafah. Muawiyah bin Abu Sufyan Ra.
lebih faham hadits dibanding saya, lebih faham hadits dibanding orang-orang
yang mengusung kilafah. Tapi kenapa yang dipakai Muawiyah Ra. justeru adalah
kerajaan. Banya bid’ah (hasanah) yang dilakukan oleh sahabat Muawiyah Ra.,
diantaranya adalah:
1. Shalat memakai pengawal.
2. Menyampaikan khutbah dengan para
pengiring di bawahnya. Saya ingat pada tahun 90-an di Masjidil Haram, setiap
kali imam berkhutbah pasti di bawahnya ada pendamping memegangi mimbarnya. Ini
adalah sisa-sisa peninggalan sahabat Muawiyah Ra.
Yang lebih antik lagi adalah teman saya, anggota
Muhammadiyah, kaget ketika shalat di Masjidil Haram adzannya 2 kali. Katanya
itu adalah bid’ah, maka dijawab: “Bid’ah saja dipakai di Masjidil Haram,
apalagi di luar Masjidil Haram.” Bahkan yang mengagetkan sampai di Madinah
pun saat shalat Jum’at adzannya 2 kali dan ketika membaca shalawat Nabi sangat
lengkap, bukan saja memakai lafadz “Sayyidina”.
Jadi yang namanya khilafah itu tidak diwajibkan baik
dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Dan ditegaskan lagi oleh Sayyidina Ali bin Abi
Thalib Ra.: “Rasulullah Saw. tidak pernah menunjuk seorang pemimpin pun
kepada kita.” Sehingga kita memandang dengan cara pandang kita bahwa Abu
Bakar Ra. lebih layak untuk menjadi pemimpin.
Perlu digarisbawahi pada kalimat “sehingga kita memandang
dengan cara pandang kita”, artinya adalah ijtihad. Bahwa persoalan, rotasi
kepemimpinan dan menjalankan pemerintahan adalah wilaah ijtihad, bukan wilayah
syariah. Wilayah ijtihad itu sifatnya situasional.
3. Klaim Keji Atas Umat
Islam yang Tidak Menyetujui Khilafah
Betulkah umat Islam yang tidak setuju dengan Khilafah
Islamiyah disebut sebagai kaum munafik, bahkan kafir? Mereka menganggap hukum
di Indonesia adalah menganut sistem thaghut (setan) sehingga wajib
mengingkarinya dan harus ditegakkan khilafah untuk menggantikannya. Mereka
bahkan menjanjikan surga bagi siapapun yang melaksanakannya, sesuai yang
diajarkan oleh ustadz-ustadz mereka. Surga, mereka kapling dan seakan surga itu
sempit yang hanya cukup untuk mereka.
Saya sering katakan kepada para mahasiswa saya di UI,
bahwa surga itu luasnya lebih luas daripada bumi dan langit. Allah Swt.
berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 133:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ
رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu menuju ampunan Tuhanmu dan menuju
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertakwa.”
Langit saja 7 lapis, bumi pun demikian. Surga lebih luas
darinya. Jadi kalau jamaah Nahdliyyin 30 juta semuanya masuk surga, niscaya
surga masih tetap luas. Jangan merasa surga itu sempit. Sampai-sampai sekarang
banyak bermunculan agen properti surga di mana-mana. Banyak yang tertipu dengan
ajakan khilafah, karena ada janji-janji politik. Ketika agama sudah dibumbui atau
dimasuki oleh ras kepentingan politik, maka itu bukan lagi agama.
Saya sering bertanya kepada para aktifis khilafah: “Andaikata
semua orang Islam di Indonesia sepakat dengan khilafah dan semua orang
non-Muslim juga mau menerima khilafah, pertanyaannya adalah siapa yang bakal
jadi khalifahnya? Apakah dari orang NU?”
“Wah jangan dari NU, ahli bid’ah!” jawab aktifis khilafah.
“Apakah dari Muhammadiyah?”
“Oh nggak bisa, karena mereka selalu memerangi kita!”
Ditanya lagi apakah dari ormas A, B, C dst., dijawabnya
tetap tidak bisa karena bla.. bla... bla... Ujung-ujungnya dia sendiri yang
ingin jadi khalifah. Nah, ini kan namanya berusaha, menarik simpati dengan cara
menjual nama orang. Rupanya ada agenda, udang di balik batu. Ada agenda yang
mereka inginkan untuk melakukan pemberontakan. Beberapa kali saya mendengarkan
diskusi mereka, yang arahnya pada pemberontakan. Mengganti, mengganti dan
mengganti.
Lalu kutanyakan: “Nah sekarang kalau misalnya kalian
sudah mapan mempunyai rencana, apa yang mau dilakukan?”
“Ya mau tak mau harus didukung oleh Ahlul Quwwah.”
“Siapa Ahlu Quwwah?
“TNI dan POLRI.”
“Ya sama saja, ujung-ujungnya kalian berpolitik juga.”
“Bukan begitu Ustadz, begini maksudnya supaya hukum Islam
itu tegak!”
“Pertanyaanku sekarang, hukum Islam mana yang tidak tegak
di Indonesia? Semuanya tegak kok. Undang-undang perkawinan, itu sudah sesuai
dengan madzhab Syafi’iyah, madzhab terbesar di Indonesia. Undang-undang zakat
sudah ada, undang-undang bank syariah juga ada. Apa lagi? Jadi, semua urusan
agama sudah dijalankan oleh negara,” jawabku.
“Ya, tapi kan negara tak mungkin menyuruh orang untuk
shalat!?”
“Shalat itu tidak boleh dipaksakan. Karena Allah Swt.
berfirman dalam QS. Thaha ayat 132:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ
وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
“Dan perintahkanlah
kepada keluargamu mendirikan shalat dan perbesarlah kesabaranmu dalam
mengerjakannya.”
Artinya kalau orang belum mau shalat, ya jangan digebuk
atau dipentung. Kalau seperti itu akhirnya orang tak bersimpati kepada agama.
Tetangga tidak shalat langsung dianggapnya kafir. Bukan begitu caranya, harus
memakai cara lain yang baik.
Di Arab Saudi
saja, bukan jarang orang yang tidak shalat tapi banyak. Saya pernah telat berangkat
shalat Maghrib berjamaah di Masjidil Haram. Di sepanjang jalan masih banyak
penjaga toko yang ada di tokonya dan orang-orang yang tongkrongan. Askar
(polisi syariah)nya hanya mondar-mandir. Itu terjadi di negara yang jelas-jelas
telah mengatakan berdasarkan kepada syariah (hukum Islam). Tapi untuk urusan
shalat, tidak bisa memaksa. Yang dihukum itu kalau sudah ‘memprovokasi’ orang
lain agar tidak shalat.
Maka Indonesia pun sudah melaksanakan itu, dengan Undang-undang
nomer 1 tahun 1965, yaitu undang-undang tentang penistaan dan penodaan terhadap
agama. Siapa saja yang memprovokasi, siapapun yang menodai gama, maka dia
berhadapan dengan negara. Ini sebenarnya hukum Islam, hanya saja tidak disebut
dengan hukum Islam.
Di dalam KUHP pasal 132 disebutkan: “Barangsiapa
menghalang-halangi suatu kegiatan keagamaan atau menista tokoh-tokoh agama,
maka dia dihukum selama 3 bulan kurungan penjara dan uang sebesar 500 rupiah.”
Kalau begitu, tanpa menyebut Islam saja materinya sudah
Islami. Apa semuanya harus dipakaikan label syariah atau Islam? Lama-lama,
saking tak tahannya orang mau ke diskotik, akhirnya ada diskotik syariah. Nanti
ada panti pijat syariah, bilyard syariah, sesuai dengan syariah Islam karena yang
main pakai cadar semua. Bukan begitu.
4. Sikap Para Ulama Terhadap
Gagasan Khilafah
Para ulama kita dahulu sudah berfikir secara taktis
kenapa Indonesia ini tidak usah pakai label Islam. Karena Islam sudah
memasyarakat. Yang perlu dibenahi adalah mentalitas kita sebagai umat Islam. Bagaimana
agar kita umat Islam mempunyai daya kompetisi, seimbang antara iman dan amal
shalehnya. Karena problem terbesar umat Islam Indonesia adalah belum
seimbangnya antara iman dan amal shaleh.
Imannya bagus tapi korupsi, berarti amal shalehnya yang masih
jelek. Maka kita lihat para koruptor itu nampak shaleh, haji dan umrahnya
berkali-kali, puasa Senin-Kamisnya rajin, pertanda imannya bagus tetapi amal
shalehnya yang kurang. Karena amal shaleh itu berbicara dimensi horizontal.
Umat Islam ini punya problem belum seimbangnya dimensi vertikal dengan
horizontalnya. Urusan ke Allah bagus tapi muamalahnya yang belum bagus. Maka
kita benahi urusan muamalah ini.
Berekonomi bermuamalah yang jujur, bekerja yang
profesional, punya semangat daya saing, kreatifitas harus dibangun, saling
tolong-menolong, menghargai pada sesama, menghormati terhadap perbedaan, inilah
yang harus kita benahi. Lha kok tiba-tiba muncul satu gerakan yang menyatakan ‘kesalahan
orang Islam’.
Coba kita baca buku-buku agama di Gramedia misalnya, itu
isinya yang salah-salah terus. Kesalahan orang Islam, mengoreksi terhadap
kesalahan Tahlilan, mencari kesalahan tasawuf, dlsb. Jadi ngajinya yang salah-salah
terus, makanya Salah-Fikir (Salafi). Kita ini mencari yang benar.
Dan benar itu bukan ada di satu kelompok golongan, tetapi mungkin ada di
mana-mana. Itulah yang dikatakan Imam Syafi’i Ra.: “Pendapat saya mungkin
salah, tapi mengandung kemungkinan benar. Dan pendapat Anda mungkin benar, tapi
mengandung kemugkinan salah.” Artinya kita sebagai manusia ini relatif,
bisa jadi benar bisa jadi salah. Tidak ada yang benar mutlak. Yang benar mutlak
itu Allah, tapi yang salah mutlak itu setan.
Lalu kalau kita lihat dalam tinjauan ulama Ahlussunnah wal
Jama’ah Asy’ariyah, dalam lambang NU ada bintang sembilan; 1 bintang paling
besar perlambang Rasulullah Saw., 4 bintang besar perlambang Khulafaur Rasyidin,
4 di bawahnya simbol 4 madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Karena
itu Kyai Sahal Mahfudz pernah mengatakan: “Saya ini sudah kenyang fiqih madzhab
Syafi’i.” Maka beliau pun mempelajari fiqih di madzhab lainnya, Hanafi,
Maliki dan Hanbali sampai mahir.
Bahkan, singkat cerita, perkenalan beliau dengan Guru
Besar Syaikh M. Yasin bin M. Isa al-Faddani orang Padang yang jadi ulama besar ahli
hadits di Mekkah, adalah bermula dari adu opini. Sebelum menjadi santrinya saja
Mbah Sahal sudah berani bermurasalah (surat-menyurat) dengan ulama besar.
Maka hebatnya, ketika Mbah Sahal turun dari kapal di Pelabuhan Jeddah, Syaikh Yasin
al-Faddani langsung memeluknya sembari menerka: “Sahal Mahfudz!”
“Man antum?” tanya Kyai Sahal.
Dijawab: “Ana Muhammad Yasin bin Muhammad Isa
al-Faddani.”
Pecahlah tangis Mbah Sahal karena ulama yang dikaguminya
itu justeru yang pertamakali menegurnya, bukan dirinya yang mencari sang ulama.
Kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah itu ada 2 versi, versi
muhadditisin Imam Ahmad bin Hanbal dan versi Asyairah Imam Abul Hasan
al-Asy’ari. Tapi madzhabnya Imam Ahmad bin Hanbal sudah dimanipulasi. Kalau
kita baca pendapat-pendapat Imam Ahmad, justeru itulah yang banyak dipraktekkan
oleh kita (Syafi’iyyah) seperti sampainya pahala bacaan al-Quran kepada mayyit
dan kesunnahan membaca al-Quran di kuburan karena dapat menolong si mayit dan
menambah kemuliaan jika mayit itu orang shaleh. Buktinya silakan baca di kitab-kitab
susunan murid Ibn Taimiyah, yakni Ibn Qayyim al-Jauziyah.
Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyah menegaskan
bahwa khilafah itu bukan sistem politik Islam. Lihat dalam kitab yang berjudul
al-Ahkam as-Sulthaniyah halaman 15, disebutnya “al-imamah” dan bukan
al-khilafah:
الْاِمَامَةُ مَوْضُوْعٌ فِيْ
رِعَايَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الْاُمَّةِ
“Kepemimpinan itu adalah sebuah topik yang selalu
dibicarakan dalam kaitannya untuk menjaga agama dan mengelola urusan orang
banyak.”
Disebut imamah karena Imam al-Mawardi sadar betul
bahwa khilafah itu bukan sistem. Tapi dengan jalan menyerahkan kepemimpinan
kepada orang yang dipandang mampu untuk mengelolanya sehingga bermanfaat bagi
orang banyak. Inilah cara pandang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang diwakili
oleh pemikiran Imam al-Mawardi. Pertanyaannya sekarang adalah, kenapa para
ulama tidak memilih khilafah?
Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sadar betul bahwa
kondisi sosial politik Bangsa Indonesia waktu itu mereka sudah paham terhadap
ajaran agama. Lalu yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya menyatukan
wilayah besar yang terpisah-pisah bukan hanya oleh kondisi geografis tapi juga oleh
agama dan kepercayaan masing-masing. Menjaga agar orang lain tidak berburuk
sangka itu lebih utama dibanding memaksakan kehendak sendiri. Maka, cita-cita
tertingginya adalah bagaimana agar penjajah Belanda pergi, negeri aman sehingga
bisa saling menghormati, niscaya agama akan berjalan mulus.
Andaikata waktu itu KH. Abdul Wahid Hasyim yang
menggantikan posisi ayahandanya, Kyai Hasyim Asy’ari, pada sidang PPKI
memaksakan kehendak bahwa presiden harus beragama Islam, maka akan lain
jadinya. Tetapi setelah mendapatkan pertimbangan dari para tokoh ketika itu,
maka dicabutlah (ditarik kembali) pendapatnya. Sehingga Pasal 7 UUD 45
berbunyi: “Presiden adalah orang Indonesia asli.”
Adapun Islam itu adalah kesepakatan secara aklamasi bahwa
dia (presiden) seyogyanya adalah seorang muslim yang mewakili mayoritas umat
Islam, tak perlu ditulis di situ. H. Agus Salim diskusi dengan KH. Abdul Wahid
Hasyim, ayah Gus Dur, untuk urusan Pasal 7 UUD 45 itu. Dan itu menjadi rumusan
yang luar biasa, menunjukan kedewasaan berpolitik umat Islam saat itu.
Ide khilafah atau khalifah sudah dimunculkan oleh Mr.
Moh. Yamin pada sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei tahun 1945. Moh. Yamin
mengatakan bahwa pemimpin adalah khalifah dan sistemnya adalah khilafah. Tetapi
yang menarik di sini adalah, Moh. Yamin bukanlah tokoh Islam, melainkan dari
PNI (Partai Nasionalis Indonesia) tapi bicaranya tentang khilafah. Sedangkan kelompok-kelompok
Islam waktu itu menolak usulan Moh. Yamin. Ini kan jadi pertanyaan, kenapa ide
khilafah justeru muncul dari partai nasionalis dan yang menolaknya adalah dari
partai Islam?
Inilah yang dipikirkan, jangan sampai satu kata itu (Islam)
menimbulkan konflik. Maka pada saat itu para ulama berpegang pada satu kaidah
fiqih:
دَرْأُ الْمَفَاسِد مُقَدَّمٌ
عَلَي جَلْبِ الْمَصَالِح
“Mencegah terjadinya
kerusakan lebih didahulukan dibandingkan menciptakan kebaikan.”
Menjaga persatuan itu lebih kita utamakan dibanding
memaksakan pikiran kita sendiri. Inilah sumbangan terbesar umat Islam untuk
membawa Republik Indonesia. Karena itu disebut sebagai RI (Republik Indonesia),
juga bisa bermakna Ruhul Islam (jiwa dari Islam). Negara Kesatuan Republik
Indonesia resmi terbentuk melalui sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, hampir
mirip dengan terbentuknya masyarakat Madinah. Terbentuknya Undang-Undang Dasar 1945
hampir mirip dengan terbentuknya Piagam Madinah. Maka ada kajian tersendiri
tentang perbandingan Piagam Madinah dengan Piagam Undang-Undang Dasar 1945. Jadi
kalau kita lihat secara substansi, ini sudah sangat sesuai dengan apa yang
dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Karena itulah kenapa paham Ahlussunnah wal Jama’ah tumbuh
subur di Indonesia karena memang basicknya sudah sejalan dengan basick pendiri
dan pembawa ajaran Islam itu sendiri, yaitu Nabi Besar Muhammad Saw. Maka tidak
bisa terpisahkan antara Islam dengan Indonesia, itu satu tarikan nafas. Dan NU
dengan Indonesia tidak bisa terpisahkan.
NU itu sebelum Indonesia merdeka, sudah dikhianati.
Dikhianati dalam sidang Komite Kongres al-Islami Cirebon tahun 1921, dibombardir
dengan isu-isu khilafiyah. Lalu pada tahun 1922 juga dikecewakan oleh Kongres
Surabaya. Kemudian pasca kemerdekaan, NU dicurigai sebagai antek-antek Nasakom.
Menjelang tahun 1965 banyak kyai NU yang menjadi korban keganasan pembunuhan
dan penculikan. Pada masa Orde Baru NU dicurigai lagi, sehingga tidak diberikan
tempat sedikitpun. Luar biasa.
Jadi pada zaman Pak Harto, NU itu dicurigai. Maka pada
Muktamar NU waktu itu tempatnya di Situbondo, dikatakan artinya adalah NU-nya dibondo
(dibelenggu). Ketika Muktamar NU di Cipasung, dikatakan artinya NU-nya
dipasung. Orde Baru tidak suka karena NU merupakan potensi terbesar umat Islam,
maka tidak diberikan peran. Tapi pada masa reformasi, NU dicari-cari. Semua mengaku
sebagai NU apalagi saat Gus Dur menjadi presiden. Satu berkah bagi warga
Nahdliyin bahwa kita punya peran yang sangat banyak untuk mendirikan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka kewajiban bagi kita untuk mempertahankan
perjuangan para ulama tersebut.
Demikian semoga bisa menjadi pendidikan politik bagi
kita, bagaimana kita memahami proses perjalanan bangsa kita, dan yang paling
penting lagi adalah bagaimana kita selalu berusaha untuk melakukan upaya
kontekstualisasi ajaran agama. Kita hidup di Indonesia, maka bagaimanapun juga
harus ada semangat ke-Indonesia-an ketika kita mengamalkan ajaran agama.
Bukankah Rasulullah Saw. juga cinta kepada Madinah. Rasulullah Saw. mempunyai
semangat nasionalisme. Ketika sampai di Kota Madinah, Rasulullah Saw. berdoa:
اللَّهُمَّ حَبِّبْ اِلَيْنَا فِي
الْمَدِيْنَة. اللَّهُمَّ حَبِّبْ لَنَا الْمَدِيْنَةَ أَشَدَّ مِنْ مَكَّةَ.
“Ya Allah, berilah anugerah kepada kami cinta kepada
Madinah yang lebih hebat dari kecintaan kami kepada Kota Mekkah.” (HR. Imam Bukhari).
(Ditranskip dari ceramah KH. Abdi Kurnia Djohan,
SH., MH di Masjid Al-Hidayah Kota Serang Baru Cikarang, Jum’at malam Sabtu tanggal
15 Agustus 2014).